Selasa, 18 Februari 2020

PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK


 Diminta untuk menulis tentang penyelesaian Kontrak, disela-sela waktu mengajar perlu disempatkan maka hasilnya dibawah ini. Semoga bermanfaat dan selamat membaca.
Perselisihan dalam berkontrak hampir sama dengan penyelesaian kontrak itu sendiri yang artinya hampir selalu saja terjadi. Sehingga antisipasi penyelesaian bila terjadi perselisihan harus dilakukan secara cermat. Pejabat Penandatangan Kontrak harus mampu menyelesaikan baik secara Internal maupun eksternal.
Pembahasan tulisan hanya di fokuskan pada Penyelesaian secara eksternal.
Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak selalu ada pilihan-pilihan dalam menyelesaikannya. Namun sayangnya masih banyak rancangan-rancangan kontrak yang digunakan atau ditetapkan oleh Pejabat Penandatanganan Kontrak masih multi pilihan (draft Kontrak yang ada langsung digunakan tanpa di lakukan penyesuaian).
Secara garis besar pilihan penyelesaian Sengketa Kontrak (eksternal PPK) ada 2 yaitu penyelesaian melalui jalur Litigasi atau jalur non Litigasi.
LITIGASI
Penyelesaian sengketa melalui jalur Litigasi adalah penyelesaian melalui jalur Pengadilan baik Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun Pengadilan Umum.
Banyak pejabat penanda Tangana Kontrak atau PPK yang yang merasa nyaman dalam memilih jalur litigasi karena hasil keputusan pengadilan dianggap lebih dipatuhi oleh aparat Pemerintah, terlebih bila ada keputusan terkait pembayaran, baik itu ganti rugi ataupun keharusan membayar oleh Instansi pemerintah, maka para pihak terutama Bendahara atau Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran biasanya dengan cepat menanggapi dan melaksanakan hasil putusan tersebut. PPK tidak memiliki beban yang harus ditanggung secara pribadi bilamana keputusan yang diakibatkan oleh kewenangan jabatan. Keputusan peradilan umum akan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Bahkan (seharusnya) biaya-biaya pemberian batuan hukum, keterangan ahli sepenuhnya ditanggung oleh negara.
Namun demikian dari sisi waktu, Jalur litigasi merupakan proses yang panjang dan berbelit serta merupakan pemborosan waktu. Sebab keputusan pengadilan tingkat pertama masih dapat bersifat sementara karena para pihak masih dapat mengajukan upaya-upaya hukum sebagaimana hirarki proses hukum di Indonesia yaitu banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali. Hal ini menyebabkan berkurangnya kepastian penyelesaian hukum, banyak pekerjaan yang seharusnya cepat diselesaikan menjadi terbengkalai karena menunggu upaya-upaya hokum yang ada agar mempunyai keputusan hukum tetap.
Belum lagi dari sisi biaya Para pihak masing-masing membutuhkan biaya-biaya diluar pengadilan yang jumlahnya juga relative tidak sedikit, seperti biaya-biaya rapat, perjalanan dinas, akomodasi dan biaya-biaya personal lainnya. Dan yang tidak kalah penting Bagaimana dengan nasib proyek atau pekerjaan yang terbengkalai untuk waktu yang tidak sebentar sebagai akibat dari kurangnya kepastian hukum karena para pihak yang masih melakukan upaya – upaya hukum terkait? Jawabannya proyek tersebut berpotensi Mangkrak.

NON LITIGASI
Penyelesaian sengketa melalui jalur Non Litigasi atau sering juga disebut jalur alternative adalah penyelesaian diluar Pengadilan atau tidak / menghindari jalur pengadilan.
Ada beberapa pilihan yang dapat digunakan oleh Pejabat Penandatanganan Kontrak ketika memutuskan untuk memanfaatkan jalur Non Litigasi ini, yaitu :
1.    Mediasi;
2.    Konsiliasi; dan
3.    Arbitrase.

 
1. Mediasi
Cara penyelesaian sengketa melalui proses musyawarah / perundingan para pihak yang dibantu oleh mediator dalam mencapai kesepakatan para pihak.
Musyarawarah yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa diatur dan dipimpin oleh seorang Mediator. Penunjukkan mediator dilakukan dan disepakati oleh para pihak.
2.  Konsiliasi
Upaya para pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan menggunakan penengah yang bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dimana konsiliator mengusahakan solusi penyelesaian atas sengketa yang dapat diterima para pihak.

3.  Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

Menurut Buku Informasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah (LKPP) tentang “Menyelesaikan Permasalahan Kontrak Pengadaan Barang / Jasa”

Secara umum keunggulan arbitrase antara lain :
1. kerahasiaan permasalahan yang disengketakan dan para pihak yang sengketa dapat dirahasiakan karrena keptusan arbiter tidak harus dipublikasikan
2. kelambatan akibat sistem administrasi dan prosedur dapat dihindari
3. biaya yang lebih murah karena proses yang lebih cepat, meskipun di beeberapa negara penyelesaian sengketa melalui litigasi bisa lebih cepat
4. para pihak memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai maalah yang disengketakan, jujur dan adil.
5. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase dan
6. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
7. Fokus pada ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan para pihak dalam kontrak perjanjian.
Dan kelemahan dari Arbitrase adalah :
1. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui kiprah dari lembaga-lembaga seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Pusat Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia (P3BI).
Putusan arbitrase sangat tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang memuaskan kepada kedua belah pihak. Karena walaupun arbiter adalah seorang ahli, namun belum tentu dapat memuaskan para pihak;
2. Biaya dianggap sangat mahal. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari:
a. Biaya administrasi
b. Honor arbitrator
c. Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
d. Biaya saksi dan ahli.
Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost..
3. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya.
4. Tidak terikat dengan putusan arbitrase sebelumnya, atau tidak mengenal legal precedence. Oleh karenanya, bisa saja terjadi putusan arbitrase yang berlawanan dan bertolak belakang. Bahkan putusan arbitrase bisa bertentangan dengan ketentuan peraturan negara karena tidak tercantum dalam ketentuan yang diperjanjikan dalam kontrak;
5. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara. Pengakuan dan pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase bergantung pada pengakuan dan kepercayaan terhadap lembaga arbitrase itu sendiri;
6. Pemerintah belum secara otomatis mengakui putusan arbitrase bila putusan arbitrase membebani anggaran pemerintah
Jalur Non Litigasi sangat disarankan untuk digunakan dalam berkontrak karena sifatnya lebih murah dan lebih cepat dibanding dengan Jalur Litigasi. Jalur Nono litigasi disini tentu adalah Mediasi dan Konsiliasi.
Itulah (mungkin) salah satu alasan bila dalam pasal 88 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi “memerintahkan” Kontrak pekerjaan Konstruksi untuk mengunakan jalur alternative atau Non Litigasi dalam penyelesaian sengketa Kontraknya
Apakah diperbolehkan bila Pejabat Penanda Tanganan Kontrak “hanya” memilih jalur yang murah yaitu Mediasi dan Konsiliasi dalam Kontraknya?
Bila menilik KUHPerdata yang menyatakan bahwa Kontrak atau perjanjian adalah laksana Undang-undang bagi yang para pihak yang berkontrak. Maka pemilihan jalur penyelesaian sengket merupakan hak dan kesepakatan para pihak yang berkontrak.
Sudahkah Pejabat Penandatangan Kontrak memilih jalur yang tepat untuk kontrak  anda?


1 komentar: