Selasa, 08 November 2016

KERUGIAN NEGARA PIDANA ? (UU TIPIKOR VS UU KEUANGAN NEGARA dan UU PERBENDAHARAAN NEGARA)




Dalam beberapa kali memberikan penjelasan / materi tentang pengadaan barang / jasa dan atau keuangan daerah, banyak peserta yang selalu ketakutan akan kerugian negara yang timbul dari proses-proses pengelolaan keuangan negara / daerah yang mungkin tidak sengaja atau justru tidak ada pelanggaran hukum / kesalaan prosedur yang sering kali dinyatakan pidana oleh APH. Sehingga pertanyaan yang paling penting untuk di jawab adalah APAKAH KERUGIAN NEGARA SELALU DI PIDANA ? Yuk baca tulisan sederhana berikut!

Tindak Pidana Korupsi

Ekstraordinary crime atau tindak kriminal luarbiasa itu mungkin yang menyebabkan keluarnya UU Nomor 31 tahun 1999.
Korupsi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang - Undang ini adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Menurut Pasal 3 “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Pada dua pasal tersebut diatas dapat kita ambil frasa-frasa yang terpenting yaitu :
Pertama melawan Hukum atau menyalahgunakan kewenangan;
Kedua memperkaya atau menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain;
Ketiga dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam pembahasan ini kita hanya fokus pada frasa “dapat merugikan keuangan negara”.
Frasa ini dapat dikatakan bahwa kerugian negara tidak harus ada dalam suatu perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan yang bertujuan untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau dengan kata lain bahwa :

Korupsi tidak lah harus / wajib ada kerugian negara tetapi cukup ada unsur Melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang dan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Kata dan memberikan makna bahwa kedua farasa tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Hal ini terlihat pada operasi yang dilakukan oleh KPK (OTT) dan saber pungli yang menurut penulis belum tentu ada kerugian negara tetapi langsung ditetapkan tersangka oleh Pihak yang berwenang karena telah memenuhi unsur-unsur pidana korupsi.

Keuangan Negara/Daerah

Pasal 1 ayat 1 Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”

Pasal 35 ayat (1) Undang-undang yang sama : Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.

Dari pasal tersebut dapat diapahami bahwa Kerugian negara wajib di kembalikan oleh Pejabat Negara atau Pegawai negeri (bukan wajib di penjara).

Sedangkan pada pasal (4) mengamanatkan bahwa mengenai penyelesaian kerugian negara di atur dalam undang – undang Perbendaharaan Negara “Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara”.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 204

Pasal 1 ayat (22) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Hal ini berbeda dengan Undang-undang 31 Tahun 1999 yang menggunakan kata dapat.

Penyelesaian Kerugian Negara / Daerah terdapat pada Bab IX Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Penyelesaian Kerugian Negara / Daerah.










Dalam bagan diatas dapatlah kita baca sebagai berikut :

Bendahara / pejabat negara / pegawai negeri yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.

Kerugian negara yang diakibatkan karena perbuatan melanggaran hukum atau melalaikan kewajiban (lalai) di berikan sanksi Mengganti kerugian negara dan atau Sanksi Administrasi, bila ada unsur Pidana maka pengembalian Kerugian tidak menghapus / membatalkan sanksi Pidana.

Kesimpulan :
TIDAK SETIAP KERUGIAN NEGARA HARUS DI PIDANA


Semoga Bermanfaat.

Kamis, 03 November 2016

LELANG DINI DI TOLAK DPRD (PBJ VS Keu Da)



LELANG DINI DITOLAK DPRD

Dalam beberapa minggu terakhir ini bahkan dalam beberapa hari ini Dunia Pengadaan Barang / jasa Indonesia di buat heboh oleh hiruk pikuk pelelangan “Dini” yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI yang kemudian di “tolak” oleh DPRD . Banyak sekali Pemberitaan di Media-media On Line serta lebih banyak pula yang kemudian membahasnya sebagai bahan diskusi yang hangat. Di media sosial-media sosial tidak lupa juga banyak yang memperbincangkan topik ini. Nah blog DISKUSI PENGADAAN INDONESIA mencoba untuk ikut-ikutan mengulasnya meskipun sudah terlambat akibat jarang (hampir tidak pernah ) buka FB. Namun pepatah mengatakan “BETTER LATE THEN NEVER” mending terlambat dari pada kuper... heheheh.

DITOLAK DPRD


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Badan Anggarannya sepertinya memang sedang tersinggung dengan lelang yang tiba-tiba dilakukan oleh Pemprov DKI karena menurutnya pelelangan itu ilegal karena belum mendapat persetujuan DPRD. Bahkan Plt. Gubernur DKI SUMARSONO (soni) mengatakan “Belum ada alasan Rasional Lelang tanpa Persetujuan DPRD” yang di muat sebagai Judul Pemberitaan di media On line detik news tertanggal 2 Nopember 2016.
Bila kita lihat kewenangan DPRD dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 dan seluruh perubahannya tidak termaktub sedikitpun yang menuangkan bahwa DPRD dapat menyetujui atau tidak menyetujui suatu proses pelelangan, bahkan bila kita cermati lebih detail lagi pada Perpres 4 tahun 2015 Pasal 25 ayat (1a) “PA pada Pemerintah Daerah mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa secara terbuka kepada masyarakat luas, setelah rancangan peraturan daerah tentang APBD yang merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD”. Jelas sekali bila kewenangan DPRD "hanya" sebatas menyetujui / tidak menyetujui anggaran dan bukan proses pelelangannya hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 34 dan 35 terkait dengan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA dan PPAS) serta pasal 43 tentang RAPBD.
Oleh karenanya “persetujuan/penolakan pelelangan” tersebut mungkin dapat diartikan sebagai bentuk arogansi dan intervensi pihak-pihak tertentu terhadap proses pelelangan?? I Don’t Know.....

PELELANGAN DINI

Pelelangan DINI disini jangan diartikan sebagai melelang temen kantor yang cantik itu yaa, hihihihi... tetapi melakukan proses pelelangan lebih dini atau lebih awal sebelum tahun anggaran atau sebelum RUP.  Sampai sejauh mana “dini “ dimaksud ?

Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 Pasal 73 ayat 2 ” Untuk Pengadaan Barang/Jasa tertentu, Kelompok Kerja ULP dapat mengumumkan pelaksanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa secara luas kepada masyarakat sebelum RUP diumumkan.

Mengumumkan Pelelangan sebelum RUP di umumkan jelas di perkenankan oleh perpres dan Pasal dimaksud terpahami bahwa Proses pelelangan dapat dilakukan bahkan sebelum KUA dan PPAS di bahas oleh pemda dan DPRD karena tidak adanya batas awal dari frasa “sebelum RUP diumumkan”. Oleh karenanya Penulis menyarankan kepada LKPP sebagai lembaga yang menangani peraturan tentang PBJP agar membuat batasan-batasan secara jelas terkait hal tersebut sehingga kegaduhan ini tidaklah perlu terjadi yang dikarenakan masing-masing orang memiliki persepsi sendiri-sendiri.

Ups, tunggu dulu ..... benarkah tidak ada pembatasan waktu paling cepat mengumumkan Pelelangan ? sebelum menjawab ada baiknya kita bahas frasa tertentu dulu yang nanti akan terkait dan berlanjut dengan batas awal itu semoga terjawab....

Ketika membicarakan tentang Pelelangan Dini maka kondisi PBJ tertentu tidak luput dari pembahasan karena haruslah merupakan alasan pelelangan dini, frasa PBJ tertentu telah tertera pada penjelasan pasal 73 perpres 4 tahun 2015 :

Pengadaan Barang/Jasa tertentu yang proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa dapat diumumkan sebelum RUP diumumkan antara lain :
a.    pengadaan Barang/Jasa yang membutuhkan waktu perencanaan dan persiapan pelaksanaan pengadaan Barang / Jasa yang lama;
b.    pekerjaan kompleks; dan/atau
c.    pekerjaan rutin yang harus dipenuhi di awal tahun anggaran dan tidak boleh berhenti

Bila ada Barang / Jasa yang dibutuhkan dengan kriteria “tertentu” sebagaimana penjelasan pasal tersebut silahkan dilakukan. Namun masih ada satu persoalan dan pertanyaan yang mengganjal siapakah dan kapan penentuan bahwa suatu Pengadaan Barang / Jasa masuk dalam kriteria tertentu ? heeemmmm pertanyaan diatas belum terjawab sekarang bertanya lagi. Tapi yang ini langsung saya jawab saja yah..!

Penentu "tertentu" adalah Pengguna Anggaran pada saat melakukan identifikasi kebutuhan Pengadaan Barang / Jasa yang diperlukan.

Hanya dengan identifikasi kebutuhanlah dapat diketahui apakah suatu pengadaan Barang/ jasa di katakan / memenuhi kriteria “tertentu” atau tidak.
Identifikasi kebutuhan merupakan salah satu kegiatan dalam rangka penyusunan Rencana Umum Pengadaan yang bertujuan untuk mencari kebutuhan riil yang nantinya akan digunakan sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA) dalam suatu SKPD.

Dalam Pasal 22 ayat 1 disebutkan RUP meliputi Kegiatan dan anggaran Pengadaan barang / jasa yang akan dibiayai oleh K/L/D/I sendiri atau Co- Financing.

Definisi kegiatan dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 1 ayat 39 “Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personal (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.

Anggaran / Penganggaran dalam Pemda / SKPD sesuai dengan PP 58 Tahun 2005 yang dikaitkan dengan Perpres 4 Tahun 2015 dalam skema/diagram/tabel sederhana berikut ini :



TIME LINE
ANGGARAN (PP 58 TAHUN 2005)
PENGADAAN BARANG / JASA (PERPRES 4 TAHUN 2015)
KETERANGAN
PEMDA
SKPD





1
RPJMD


Pasal 29
2

RENSTRA SKPD

Pasal 31
3

RENJA SKPD

Pasal 32 ayat (2)
4
RKPD


Pasal 32 ayat (1)
5


PENYUSUNAN RUP
Pasal 22 dan Perka LKPP
6


PELELANGAN DINI
7
KUA


Pasal 34
8
PPAS


Pasal 35
9

RKA SKPD

Pasal 36
10
RAPBD


Pasal 41
12


PENETAPAN & PENGUMUMAN RUP
Pasal 25
13


PELELANGAN (NORMAL)
Pasal 33
14
APBD


Pasal 53
15

DPA SKPD

Pasal 54
16


KONTRAK PBJP
Pasal 13


























































































Perka LKPP Nomor 14 Tahun 2012 :
1.PA mengidentifikasi kebutuhan barang/jasa yang diperlukan untuk instansinya sesuai Rencana Kerja Pemerintah/Daerah (RKP/D).
2. Dalam mengidentifikasi kebutuhan barang/jasa pada angka 1, PA terlebih dahulu menelaah kelayakan barang/jasa yang telah ada/dimiliki/dikuasai, atau riwayat kebutuhan barang/jasa dari kegiatan yang sama, untuk memperoleh kebutuhan riil.
3. Hasil identifikasi kebutuhan riil barang/jasa pada angka 2 dituangkan dalam Rencana Kerja Anggaran K/L/D/I untuk pembahasan dan penetapan di DPR/DPRD.
4. Selanjutnya PA melakukan analisis untuk menetapkan cara pelaksanaan Pengadaan dan penerapan kebijakan umum Pengadaan.

Pasal 32 PP 58 / 2005 (2) “Renja SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran dari Renstra SKPD yang disusun berdasarkan evaluasi pencapaian pelaksanaan program dan kegiatan tahun-tahun sebelumnya.

Dari uraian diatas terlihat jelas bahwa Pelelangan dini ternyata berbatas awal yang bila kita telaah lebih lanjut maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa :

1.    Pelelangan dini Paling cepat dilakukan setelah RKPD ditetapkan oleh Kepala Daerah.
2.        Penyusunan RUP SKPD dilakukan setelah SKPD menyusun dan menetapkan Rencana Kerja (RENJA - SKPD)
3.          Pengumuman RUP dilakukan setelah RAPBD di setujui oleh DPRD
4.          Kontrak di tandatangani setelah DPA-SKPD di sahkan.

Semoga Bermanfaat.....