Rabu, 13 Januari 2016

PERPRES 54 TAHUN 2010 VS PMK 243/2015 (1)




Sudah lama tidak menulis, sejak “nge FB“ jadi resolusi 2016 keinginan menulis malah timbul lagi, heheheh, semoga catatan (maaf belum berani menyebut “Tulisan”)  berikut bermanfaat.



Kawan,  sejak adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.05/2015 yang dikeluarkan / ditetapkan pada tanggal 23 Desember 2015 banyak pihak yang mengapresiasi keluarnya peraturan tersebut sebagai suatu terobosan atas solusi akhir tahun yang sering kali menjadi beban pikiran bagi banyak pihak, baik itu PPK maupun PA/KPA yang terbiasa atau “terpaksa” melaksanakan pekerjaan / proyeknya di akhir tahun 2015. Namun tidak sedikit pula yang kurang berkenan atas terbitnya PMK tersebut karena berkaitan dengan waktu keluarnya maupun isinya yang dianggap “bertentangan” atau tidak sesuai dengan peraturan diatasnya dibidang Pengadaan barang / Jasa Pemerintah yaitu Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015.
Dari sisi waktu banyak mengeluhkan waktu keluarnya yang sangat mepet dengan akhir tahun anggaran 2015 yaitu tanggal 23 Desember 2015, padahal pelaksanaan dari suatu aturan selalu membutuhkan waktu untuk sosialisasi yang kadang tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Saya sendiri jadi bertanya-tanya apakah PMK ini dikeluarkan karena desakan yang mendadak sehingga di terbitkan dengan terburu-buru ? atau apakah  PMK ini memang di keluarkan karena sebenarnya tidak ingin dilaksanakan? Ataukah dikeluarkan sebagai “senjata pamungkas” akhir tahun bagi pekerjaan yang benar-benar mendesak  ditahun 2015? Untungnya PMK ini tidak di peruntukkan bagi tahun anggaran 2015 saja. Sehingga sebagian pertanyaan-pertanyaan diatas dengan sendirinya terjawab sudah. Alhamdulillah.

Bagi banyak orang yang berkecimpung di dunia pengadaan terutama dengan sumber dana APBN terbitnya PMK Nomor : 243 /PMK.05/2015 ini sepertinya sesuatu yang sangat menolong alias membantu terutama bagi mereka pengguna kontrak tahun tunggal yang pekerjaannya belum dapat diselesaikan sampai dengan batas akhir tahun. Tapi kemudian ada beberapa orang yang lain yang menyebutkan bahwa PMK tersebut bertentangan dengan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 beserta seluruh perubahannya, yaitu mengenai pemberian waktu keterlambatan selama 90 (sembilan puluh hari) dan tentang pemberian jaminan pelaksanaan sebesar 9 % (sembilan perseratus) dari nilai kontrak atau bagian kontrak.

50 hari VS 90 hari
Dalam Pasal 4 ayat (1) PMK Nomor 243 /PMK.05?2015 menyebutkan bahwa (1) Penyelesaian sisa pekerjaan yang dapat dilanjutkan ke Tahun Anggaran Berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. berdasarkan penelitian PPK, penyedia barang/jasa akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan setelah diberikan kesempatan sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan;
Bila kita cermati pasal tersebut memang memperbolehkan PPK memberikan toleransi keterlambatan sampai dengan 90 hari kalender sejak berakhirnya masa  tahun pelaksanaan pekerjaan. Hal ini lah yang dianggap sebagai pelanggaran atas Perpres 54 tahun 2010 beserta perubahannya. Benarkah?
Mari kita lihat pasal 93 Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang / jasa pemerintah :
(1) PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila:
a. kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak;
a.1. berdasarkan penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan;
a.2. setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan;

sepintas memang terlihat dua pasal tersebut bertentangan, tetapi pada kalimat awal ayat (1) pasal 93 terdapat kata / frasa “dapat”  yang memberikan makna bahwa apabila klausul klausul sebagaimana pada huruf a.1 dan a.2 (penulisan hanya dibatasi pada klausul ini saja) seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak di wajibkan/tidak diharuskan melakukan pemutusan kontrak secara sepihak. Atau dengan kata lain meskipun keterlambatan melampaui 50 (lima puluh) hari kalender PPK sebenarnya tetap diberikan pilihan untuk memutus kontrak atau memberikan kesempatan / toleransi untuk memberikan tambahan waktu bagi penyedia untuk melanjutkan dan menyelesaikan pekerjaan (hal ini harus dituangkan dalam kontrak).
Menurut penulis hal inilah atau celah inilah yang kemudian memberikan jalan atas lahirnya PMK Nomor :  243 /PMK.05/2015 tersebut.
Penulis memahami bahwa catatan ini masih sangat dapat diperdebatkan, tetapi kawan apapun itu (bertentangan ataupun tidak),  pemutusan kontrak adalah keputusan seorang PPK dalam melakukan atau melaksanakan suatu kontrak atau perjanjian, dan kebebasan melakukan / melaksanakan kontrak ini dilindungi oleh pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sah (dari empat syarat) dari kontrak/persetujuan adalah adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya”. Kebebasan inilah yang seharusnya menjadi acuan dalam berkontrak diantara para pihak. Tetapi kemudian banyak aturan yang ternyata mengekang dengan dalih lex spesialis.
Kembali pada topik awal, bagi pekerjaan yang menggunakan APBN (Bukan APBD) silahkan tetap memilih 50 (lima puluh) hari atau 90 (sembilan puluh) hari karena keduanya tetap memiliki dasar hukum yaitu Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 atau Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 243/PMK.05/2015. 
Silahkan memilih, Pilihan anda menentukan masa depan bangsa! 
Itulah catatan Sederhana saya, semoga dapat bermanfaat
Jaminan Pelaksanaan 5 % atau 9% ? Tunggu catatan selanjutnya ya!

PERPRES 54 TAHUN 2010 VS PMK 243/2015 (2)