Sudah lama tidak menulis,
sejak “nge FB“ jadi resolusi 2016
keinginan menulis malah timbul lagi, heheheh, semoga catatan (maaf belum berani
menyebut “Tulisan”) berikut bermanfaat.
Kawan, sejak adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
243/PMK.05/2015 yang dikeluarkan / ditetapkan pada tanggal 23 Desember 2015
banyak pihak yang mengapresiasi keluarnya peraturan tersebut sebagai suatu
terobosan atas solusi akhir tahun yang sering kali menjadi beban pikiran bagi
banyak pihak, baik itu PPK maupun PA/KPA yang terbiasa atau “terpaksa”
melaksanakan pekerjaan / proyeknya di akhir tahun 2015. Namun tidak sedikit
pula yang kurang berkenan atas terbitnya PMK tersebut karena berkaitan dengan
waktu keluarnya maupun isinya yang dianggap “bertentangan” atau tidak sesuai
dengan peraturan diatasnya dibidang Pengadaan barang / Jasa Pemerintah yaitu
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015.
Dari sisi waktu banyak
mengeluhkan waktu keluarnya yang sangat mepet dengan akhir tahun anggaran 2015
yaitu tanggal 23 Desember 2015, padahal pelaksanaan dari suatu aturan selalu
membutuhkan waktu untuk sosialisasi yang kadang tidak dapat dilakukan dalam waktu
yang singkat. Saya sendiri jadi bertanya-tanya apakah PMK ini dikeluarkan
karena desakan yang mendadak sehingga di terbitkan dengan terburu-buru ? atau
apakah PMK ini memang di keluarkan
karena sebenarnya tidak ingin dilaksanakan? Ataukah dikeluarkan sebagai
“senjata pamungkas” akhir tahun bagi pekerjaan yang benar-benar mendesak ditahun 2015? Untungnya PMK ini tidak di
peruntukkan bagi tahun anggaran 2015 saja. Sehingga sebagian
pertanyaan-pertanyaan diatas dengan sendirinya terjawab sudah. Alhamdulillah.
Bagi banyak orang yang
berkecimpung di dunia pengadaan terutama dengan sumber dana APBN terbitnya PMK Nomor : 243 /PMK.05/2015 ini sepertinya sesuatu yang sangat menolong alias membantu terutama bagi
mereka pengguna kontrak tahun tunggal yang pekerjaannya belum dapat
diselesaikan sampai dengan batas akhir tahun. Tapi kemudian ada beberapa orang
yang lain yang menyebutkan bahwa PMK tersebut bertentangan dengan Peraturan
Presiden nomor 54 tahun 2010 beserta seluruh perubahannya, yaitu mengenai
pemberian waktu keterlambatan selama 90 (sembilan puluh hari) dan tentang
pemberian jaminan pelaksanaan sebesar 9 % (sembilan perseratus) dari nilai
kontrak atau bagian kontrak.
50
hari VS 90 hari
Dalam
Pasal 4 ayat (1) PMK Nomor 243 /PMK.05?2015 menyebutkan bahwa (1)
Penyelesaian sisa pekerjaan yang dapat dilanjutkan ke Tahun Anggaran Berikutnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. berdasarkan
penelitian PPK, penyedia barang/jasa akan mampu
menyelesaikan keseluruhan pekerjaan setelah diberikan kesempatan sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak
berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan;
Bila kita cermati pasal
tersebut memang memperbolehkan PPK memberikan toleransi keterlambatan sampai
dengan 90 hari kalender sejak berakhirnya masa
tahun pelaksanaan pekerjaan. Hal ini lah yang dianggap sebagai
pelanggaran atas Perpres 54 tahun 2010 beserta perubahannya. Benarkah?
Mari kita lihat pasal 93
Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan
Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang / jasa pemerintah :
(1) PPK dapat memutuskan Kontrak secara
sepihak, apabila:
a. kebutuhan barang/jasa tidak dapat
ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak;
a.1. berdasarkan penelitian PPK, Penyedia
Barang/Jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun
diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa
berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan;
a.2. setelah diberikan kesempatan
menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa
berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan;
sepintas memang terlihat dua
pasal tersebut bertentangan, tetapi pada kalimat awal ayat (1) pasal 93
terdapat kata / frasa “dapat” yang memberikan makna bahwa apabila klausul
klausul sebagaimana pada huruf a.1 dan a.2 (penulisan hanya dibatasi pada
klausul ini saja) seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak di
wajibkan/tidak diharuskan melakukan pemutusan kontrak secara sepihak. Atau
dengan kata lain meskipun keterlambatan melampaui 50 (lima puluh) hari kalender
PPK sebenarnya tetap diberikan pilihan untuk memutus kontrak atau memberikan
kesempatan / toleransi untuk memberikan tambahan waktu bagi penyedia untuk
melanjutkan dan menyelesaikan pekerjaan (hal ini harus dituangkan dalam
kontrak).
Menurut penulis hal inilah
atau celah inilah yang kemudian memberikan jalan atas lahirnya PMK Nomor : 243 /PMK.05/2015 tersebut.
Penulis memahami bahwa catatan ini masih sangat dapat diperdebatkan, tetapi kawan apapun itu (bertentangan
ataupun tidak), pemutusan kontrak adalah
keputusan seorang PPK dalam melakukan atau melaksanakan suatu kontrak atau
perjanjian, dan kebebasan melakukan / melaksanakan kontrak ini dilindungi oleh
pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sah (dari empat
syarat) dari kontrak/persetujuan adalah adanya “kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya”. Kebebasan
inilah yang seharusnya menjadi acuan dalam berkontrak diantara para pihak. Tetapi
kemudian banyak aturan yang ternyata mengekang dengan dalih lex
spesialis.
Kembali pada topik awal, bagi
pekerjaan yang menggunakan APBN (Bukan APBD) silahkan tetap memilih 50 (lima
puluh) hari atau 90 (sembilan puluh) hari karena keduanya tetap memiliki dasar
hukum yaitu Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 atau Peraturan Menteri Keuangan
Nomor : 243/PMK.05/2015.
Silahkan memilih, Pilihan anda menentukan masa depan bangsa!
Itulah
catatan Sederhana saya, semoga dapat bermanfaat
Jaminan Pelaksanaan 5 % atau
9% ? Tunggu catatan selanjutnya ya!
PERPRES 54 TAHUN 2010 VS PMK 243/2015
(2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar